Saturday 18 June 2016

Cerpen Tragis Hadiah yang Berujung pada Kematian


Hadiah yang Berujung pada Kematian
Oleh MALIK FAJAR ABDILLAH
Sore itu, Colbert berjalan sedikit tergesa – gesa. Sesekali dia melihat piala yang dia genggam, dia sudah tidak sabar untuk cepat – cepat sampai di rumah. Lalu dia berlari bagaikan cheetah melintasi jalan setapak. Dari kejauhan, rumahnya yang memang berada di tengah sawah mulai terlihat jelas. Rumah beratap daun kelapa yang sudah kering dengan tiang bambu, membuat rumahnya seakan sangat ramah lingkungan. Sampai depan rumah, Colbert segera membuka pintu, di dalam rumah tidak ada seorang pun kecuali Colbert. Colbert di rumah hanya tinggal bersama Ibunya, karena Ayah Colbert meninggal saat dia berusia tiga tahun.
Colbert mencari Ibunya ke Ruang keluarga, namun kosong, di kamar, di dapur pun tidak ada. Lalu Colbert pergi ke belakang rumah tempat keluarganya beternak kelinci. Benar saja, Ibunya sedang asik memberi makan kelinci. Betapa senangnya Colbert bisa bertemu Ibunya setelah berbulan – bulan dia mengikuti kompetisi Sepakbola di Provinsi Determine.
“Ibu, Colbert pulang!” sapa Colbert. Namun apa yang terjadi, Ibunya tidak merespon sedikit pun. Colbert lalu mengulangi lagi sampai tiga kali, tetap saja Ibunya tidak merespon. Tidak lama kemudian, Ibunya selesai memberi makan kelinci dan segera masuk ke dalam rumah. Colbert mendatangi Ibunya sambil tersenyum manis. Namun Ibunya tidak merespon lagi apa yang dilakukan oleh Colbert. Sampai di sini, Colbert semakin bingung dengan sikap Ibu kepadanya.
“Ibu, Colbert sudah pulang bu, Colbert berhasil bu” terang Colbert. Ibunya yang sedang duduk di sofa yang ada di ruang keluarga tidak merespon sedikit pun. Colbert semakin cemas dengan sikap Ibunya.
Dalam keheningan, datanglah dua orang berpakaian putih layaknya seorang dokter. Colbert dan Ibunya tidak ada yang mengenali mereka.
Tok.. tok.. tok.. “Assalamualaikum” salam salah satu orang berpakaian putih.
“Walaikumsalam” jawab ibu Colbert
“Dengan ibu dari Cristhoper de Vincente Colbert Rio de Jeniero da Costa Aveiro Junior dos Santos?” tanya salah satu orang berpakaian putih
“Iya benar, ayo silahkan masuk” Ibu Colbert mempersilahkan untuk masuk dan duduk di sofa
“Ada apa ya mas?” tanya Ibu Colbert
“Begini bu, maksud kedatangan kami yang pertama ingin memberitahu ibu bahwa anak Ibu yang bernama Cristhoper de Vincente Colbert Rio de Jeniero da Costa Aveiro Junior dos Santos telah berhasil membawa tim sepakbolanya menjadi juara satu dalam kompetisi Sepakbola di Provinsi Determine. Yang kedua, dia saat menjadi kiper, pada menit terakhir berusaha menghalau bola, namun tanpa disengaja kepala Colbert membentur mistar gawang dengan sangat keras. Benturan itu membuatnya tak sadarkan diri dan membuatnya mengalami pendarahan yang membuatnya kehilangan banyak darah sehingga harus dibawa ke rumah sakit. Dokter di sana sudah berusaha keras mengurangi pendarahan yang dia alami, namun karena sudah terlalu parah, itu membuat dia tidak mampu bertahan lagi” jelas satu orang berpakaian putih
“Innalillahi wainailaihi rojiun, Colbert...” ibunya terisak tak mampu menahan rasa sedihnya
Mendengar hal tersebut, Colbert teringat. Saat itu pertandingan final memasuki menit 89 dan timnya sedang  unggul 3-0. Tim lawan sedang menyerang pertahanan timnya. Sebuah bola melucur sangat cepat ke arah pojok gawang, kemudian melompat berusaha menahan bola tersebut, bola berhasil masuk dan kepalanya berhasil membentur mistar gawang. Dia jatuh dan tidak sadarkan diri.
“Jadi, aku sudah mati? Tidak mungkin, padahal aku belum sempat memberikan kado untuk Ibuku” tanya Colbert dalam hati. Colbert memang sangat ingin menunjukan bahwa dia mampu mendapatkan sesuatu yang berharga dari hobinya bermain sepakbola. Colbert sudah merencanakan piala yang dia dapatkan akan dia jadikan kado ulang tahun Ibunya yang ke 55 tepat pada hari final kompetisi berlangsung. Colbert terlihat sangat sedih dan sekaligus tidak percaya, cepat sekali hidupnya berakhir padahal dia belum merasa pernah membahagiakan Ibunya dan umurnya bahkan belum genap 17 tahun.
Kini Colbert hanya bisa pasrah dengan keadaan. Colbert sudah merelakan semuanya. Dia kini sudah merasa waktunya bertemu dengan Ayahnya yang sudah terlebih dahulu meninggal. Sudah lebih dari 13 tahun dia tidak bertemu dengan Ayahnya.
Colbert percaya, saat itu akan datang. Saat di mana seseorang meninggalkan dunia. Semua orang, iya semua orang akan mengalami yang namanya kematian. Perlahan tapi pasti, sosok Colbert mulai pudar, bagaikan ditelan oleh udara.

Terinspirasi dari seorang kiper bernama Petr Cech yang kepalanya mengalami retak akibat benturan dengan salah seorang pemain Reading dalam pertandingan Liga Inggris.

No comments:

Post a Comment