Saturday 18 June 2016

Cerpen Kearifan Lokal Jawakarta

Assalamualaikum  jodohku yang masih direncanakan illahi:-) hai sobast kali ini ast akan share cerpen. semoga bermanfaat yaa. selamat membaca.


JAWAKARTA
Permukaan langit kini mulai dihiasai oleh benang – benang merah yang memancar dengan jelasnya. Suara adzan Ki Tukiman berkumandang dengan kerasnya, pertanda waktu sholat maghrib telah tiba.Tak ada satu orangpun keluar rumah kecuali bagi mereka yang hendak menjalankan ibadah sholat maghrib berjamaah di mushola. Sudah menjadi kebiasaan di tanah jawa ini, apabila waktu maghrib telah tiba maka orang – orang dilarang keluar rumah. Apalagi, bagi mereka wanita remaja, tidak baik katanya. Konon pada waktu maghrib, banyak makhluk halus atau yang sering orang sebut dengan setan berkeliaran di bumi.  Pernyataan ini didukung oleh sebuah peristiwa, dimana ada seorang ibu muda membawa anaknya pergi keluar rumah pada waktu maghrib, jelang beberapa hari setelah itu, anaknya tersebut meninggal dunia. Banyak  orang desaku mengklaim bahwa kematian tersebut akibat pengaruh setan. Entahlah, kebenaranya bagaimana. Yang pasti sebelum meninggal, anak tersebut sempat sakit demam selama dua malam. Namun, sifat orang desa yang selalu mengkait-kaitkan dengan hal-hal yang sebenarnya tidak masuk akal itu masih tetap ada. Memang tidak mudah membuang kebiasaan yang sudah ada, apalagi di desa.
Terlepas dari semua itu, jika bicara pulau jawa ingin rasanya aku menjumpainya kembali. Sudah hampir 4 tahun lamanya aku mendiami Ibukota Indonesia. Kedatanganku bersama keluarga  ke kota metropolitan ini, bukan untuk menghindar atau melupakan  tanah kelahiran dan segala budaya etniknya. Motivasi untuk mengubah hidup agar lebih layaklah yang menjadi alasan mengapa aku dan keluarga bertamu ke Ibukota. Ketika di desa, perekonomian  keluargaku bisa dibilang sangat jauh dari kata cukup jika dibandingkan dengan tetangga rumahku. Setiap pagi aku harus membantu ibu mencari kayu bakar untuk kebutuhan memasaknya. Terkadang aku iri dengan tetanggaku yang segalanya serba cukup. Memasak bisa dengan mudahnya menggunakan gas elpiji, tanpa harus mencari kayu bakar. Namun, mengapa harus iri? Bukankah mereka mampu karena usaha? Oleh karena itu, kepergianku bersama keluarga ke Ibukota merupakan salah satu usaha untuk mengubah hidupku dan keluarga agar lebih baik. Sama seperti tetangga-tetanggaku tadi.
            Orang tuaku sangat memperhatikan pendidikan. Dari kecil, aku sudah dibekali dengan ilmu agama. Sejak umur  enam tahun aku sudah dibiasakan untuk melaksanakan ibadah sholat wajib. Ayah, ibu, dan aku setiap manghrib selalu sholat secara berjamaah. Sambil menunggu waktu sholat isya ayah dan ibu mengajariku mengaji. Karena usiaku yang masih sangat kecil, nampaknya wajar jika seringkali salah dalam belajar. Namun ayah dan ibuku sangat sabar membimbingku, karena mereka sangat mengharapkan aku menjadi anak yang sholeh dan sukses nantinya.
“Mugi-mugi ngenjang sampean dados bocah sholeh lan sukses nggeh nak”, sambil memeluk tubuhku dengan eratnya. Sebagai anak usia empat tahun sebelas bulan yang belum tau apa-apa hanya gestur mengangguk saja yang dapat aku lakukan. Serasa ingin kulantunkan kata amin. Semoga Tuhan mengabulkan.
            Terkadang aku mengaji dipondok dekat rumah bersama teman-teman sekolah dasarku. Kebiasaanku dan teman-temanku adalah mengalungkan sarung dileher dan menggunakan peci seragam yaitu peci berwarna hitam. Sarung, baru kita pakai ketika kita sampai di pondok. Sesekali ustad mengingatkan kita supaya sarung langsung dipakai dari rumah.
“Bocah-bocah ngenjang malih, ngangge sarunge langsung saking griyo nggeh”, nasihat beliau dengan gaya bicara jawanya yang sangat khas. Dengan serentak kami yang masih bocah hanya menjawab, “Nggeh pak kiyai”, jawab kami seadanya. Sepulang mengaji pukul empat sore tepatnya, kami ber-empat aku, Doni, Andri, dan Ian berbondong-bondong menuju halaman rumah Ian. Seperti biasa setiap pulang mengaji kami selalu bermain kelereng bersama. Diantara empat anak ini, kebetulan yang paling sering menang adalah aku. Hehe makanya, mereka bertiga sebelum bermain sering berspekulasi kalau yang akan menang adalah aku.
“Mengko mesti Eza maning sing menang”, tebak Ian setengah pasrah. Dengan basa jawa ngokonya.
“Iya, mesti Eza maning sing menang”, lanjut Andri dan Doni secara bersamaan.
“Loh, sampean sedaya dereng sida dolanan sampun kados niku, sida mboten?”, tanyaku memastikan dengan basa jawa seadanya.
“Sida dong, siapa takut?!”, jawab mereka secara bersamaan.
Memang benar prediksi mereka, jika aku yang akan menang. Walaupun usiaku paling muda diantara mereka, namun entah kebetulan atau tidak, sering kali aku menang. Memang usia tidak menjadi suatu jaminan jika yang tua adalah yang utama.
Sudah dari kecil kami dilatih untuk menggunakan bahasa jawa. Sehingga kami sudah terbiasa. Kami ber-empat bisa dibilang geng. Bukan geng sebenarnya, semacam itu pokoknya. Kami sering kali menghabiskan waktu main secara bersamaan. Setelah pulang sekolah, kami biasanya bermain layang-layang di sawah tak berpadi. Sesekali layang-layang kami terputus dengan bebasnya. Dan sering kali kami terjatuh tatkala mengejar layang-layang yang putus. Karena memang, permukaan sawahnya yang ekstrim. Namun, sering jatuh tidak membuat kita kapok untuk terus bermain layang-layang. Setelah terdengar adzan dhuhur kami langsung pulang membiarkan layang-layang yang sudah jauh terbang kearah langit. Sesegera mungkin kami langsung menuju mushola untuk sholat berjamaah.
Setelah selesai sholat, kami pulang kerumah masing-masing. Jam-jam segini kami selalu gunakan untuk tidur siang. Dirumah masing-masing pastinya. Sekitar jam tiga sore, kami menuju ke sungai untuk mandi. Orang desa sering menyebut “dus-dusan”. Hampir setiap hari kami selalu menghabiskan waktu bersama.
Kebersamaan kami mulai terpisah oleh jarak dan waktu. Sejak SMA, kami sudah tidak satu sekolahan lagi, pada waktu itulah kami menjadi jarang bersama. Akibat perkembangan zaman yang semakin modern, adanya alat komunikasi yang semakin canggih, kami sering kali bercakap ria melalui Blackberry Messager atau orang lebih sering menyebutnya “BBM”.
Sebenarnya kita berada disatu Ibukota Indonesia. Andri di Jakarta Timur, Eza di Jakarta Barat, Ian di Jakarta Selatan, dan aku di Jakarta Pusat. Kedengarannya memang lucu, masa satu Ibukota nggak pernah bertemu? Sekali lagi kesibukan kamilah yang menjadi alasan kenapa kami jarang, bahkan tidak pernah berkumpul. Kebetulan sekolah kami banyak memberikan tugas rumah. Presentasi-presentasi, makalah, laporan, itu salah tiga dari banyak tugas lain yang diberikan guru di sekolah kami. Walaupun kita tidak satu sekolah, namun sekolah kami satu kurikulum. Entah kebetulan atau tidak kami bisa berada disatu kota yang sama. Masing-masing mempunyai alasan mengapa memilih Jakarta sebagai rumah kedua setelah Tanah Jawa. Aku dan keluargaku pergi ke Jakarta dengan harapan agar hidup kami lebih baik, kebetulan sekali ayah mempunyai sahabat sukses disana. Dan ayahku sempat diajak untuk ikut bekerja diperusahaannya. Pada saat itu ayah sangat memperlukan uang yang cukup banyak untuk membiayai sekolah SMA ku. Akhirnya, ayah pun menerima ajakan mulia sahabatnya itu. Karena dirasa lebih efisien jika aku melanjutkan sekolah disana, akhirnya aku, ayah, dan ibu memutuskan untuk tinggal sementara waktu disana.
Berbeda dengan Andri, ia dan keluarga memang sudah berniat dari awal untuk berpindah ke Ibukota Jakarta. Lain Andri, lain juga Eza. Eza ke Jakarta karena dia ikut dengan pamannya, kurang lebih 1 tahun yang lalu orang tuanya wafat dalam kecelakaan motor. Pada saat itu ia baru kelas tiga SMP dan kedua adiknya masih duduk di sekolah dasar, begitu terpukul atas kepergian orang tua mereka. Sebagai teman, pada saat itu aku hanya mampu mendoakan untuk kebahagiaan orangtuanya disisi-Nya dan mendoakan yang terbaik untuk Eza dan keluarga. Beruntung, paman Eza yang di Jakarta begitu baik dan peduli terhadapnya. Sehingga, Eza dan kedua adiknya bertempat tinggal di rumah pamannya yang berada di Jakarta.
Lain Andri, lain Eza, lain juga Ian. Ian bermukim di Jakarta karena ikut bersama kedua orang tuanya yang bekerja disana. Dari kecil ia bersama nenek dan kakeknya di Jawa. Jarang sekali mereka bertemu, mungkin setiap hari raya saja ayah dan ibunya berpulang kerumah neneknya di Jawa. Akhirnya, setelah lulus dari SMP, ayah dan ibunya menyarankan Ian agar ia melanjutkan sekolah di Jakarta. Tanpa pikir panjang akhirnya ian mengiyakan saran orang tuanya tersebut.
        Kehidupan di ibukota sangat jauh dari kehidupan di desa. Mulai dari lingkungan hingga penduduknya. Banyak sungai yang digunakan tidak sesuai dengan yang seharusnya, sampah seolah tak terhitung lagi jumlahnya. Tak heran jika sering terjadi banjir dikota ini. Bukan salah siapa-siapa, bukan salah kepala negara, bukan pula salah rakyatnya. Namun, kalau bicara ini karena siapa? Maka, jawabannya adalah karena orang-orang yang tidak peduli dengan lingkungan. Itu sebabnya banyak orang di ibukota yang merindukan suasana desa yang asri, dan sejuk.
       Pengaruh globalisasi sudah sampai ditanah air Indonesia ini.Gaya hidup kebarat-baratan, gaya bicara kebule-bulean, pelan-pelan melunturkan budaya etnik yang ada.Tidak ada salahnya memang kita mengikuti gaya orang barat, namun segala sesuatu yang berlebihan bukankah itu tidak baik? Cukup kita meniru hal positif nya saja. Hal-hal yang memang tidak perlu kita tiru tidak seharusnya kita tiru. Apalagi, jika hal yang kita tiru menghanyutkan dan menjadikan kita lupa dengan budaya asli indonesia. Jika hal seperti itu dibiarkan maka, kearifan lokalpun akan hilang dengan sendirinya.
      Sebagai penduduk Jakarta yang baru, kami butuh waktu untuk beradaptasi. Logat jawaku yang sudah mendarah daging  masih nampak jelas, karena memang selama di jawa bahasa keseharianku adalah bahasa jawa. Aku yakin setiap orang yang berdialog denganku, langsung mengetahui asal daerahku tanpa menanyakannya terlebih dahulu.
 
       Anak-anak disekolahku disini juga tidak kalah baik dengan teman-teman di desaku dulu. Bedanya jika dulu sepulang sekolah aku dan teman-temanku lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain, sekarang aku dan teman-temanku disini sepulang sekolah langsung mengerjakan tugas secara berkelompok. Mungkin, karena sudah sekolah menengah atas jadi lebih memfokuskan untuk menuju keperguruan tinggi. Apalagi, aku dan ketiga temanku mempunyai cita cita untuk melanjutkan keperguruan tinggi yang sama.
     Aku yakin ketiga temanku yang lain juga merasakan hal yang sama denganku. Kesibukan seperti inilah, yang sering membuatku rindu akan kebersamaan kami waktu bermain bersama.
       Selama tiga tahun kami menempuh pendidikan menengah atas. Akhirnya, ijazah SMA pun kami dapatkan. Selama tiga tahun tersebut tidak ada tegur sapa secara langsung diantara kami. Hanya media handphone saja yang sering kami lakukan untuk mengobati rasa rindu kami. Liburan semester, lebih kami gunakan untuk tetap dirumah bersama keluarga.
       Setelah kami lulus kami melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi. Kali ini benar benar sebuah kebetulan, selama kita berdialog dan berkomunikasi melalui handphone tidak pernah kami bersepakat untuk masuk ke perguruan tinggi yang sama. Namun, kami berempat memang sudah ada keinginan untuk masuk perguruan tinggi yang sama. Universitas Indonesia lah yang menjadi tempat kita berkumpul bersama kembali. Di atas lahan inilah kami berjumpa kembali setelah bertaun-taun tidak saling tatap dan cakap secara langsung. Mereka benar-benar berubah, baik secara fisik ataupun non fisik. Dimulai dari Andri yang hitam, gendut sekarang menjadi lelaki yang putih dan cool silahkan dibayangkan. Eza, yag dulunya kurus, pendek sekarang berubah menjadi lelaki yang bertubuh proporsional. Ian, yang dulunya kuntet sekarang berubah menjadi laki-laki yang berukuran tubuh tinggi sedang. Jangan tanyakan aku, karena aku juga berubah seperti mereka. Hehe
       Kami benar- benar bahagia, pertemuan itu kami manfaatkan dengan baik. Kami pun becakap ria. Di dalam percakapan sesekali kami membicarakan tentang tanah kelahiran kami, tak jarang kami tertawa bersama setelah mengingat kebersamaan kami di jawa, mengaji bersama, main kelereng, main layang-layang dan seterusnya.
‘’ Kalian  masih ingat bukan waktu kita main layang-layang kemudian layang-layang kita putus lalu mengejarnya dan akhirnya kita jatuh bersamaan hehe?’’. Cakap Eza seakan mengingatkan.
‘’ Hahaha..... iya, aku ingat. Ingat sekali’’ lanjut Ian.
‘’ Kapan –kapan kita pulang ke jawa yuk. Sudah lama sekali kita tidak berpulang kesana. Aku benar-benar merindukan segalanya yang ada disana.’’
‘’ Ia, aku juga demikian. Sebentar lagi kan bulan syuro pasti ada pertunjukan wayang kulit didesa. Kebetulan juga akhir tahun ini kita kan belum mulai kuliah, apa tidak sebaikya jika kita berkunjung pada waktu itu, sekalian kita menonton pertunjukan wayang tersebut’’. Usul Andri.
‘’ Ide yang bagus, aku setuju kapan lagi ada peluang waktu semacam ini. Aku setuju’’ ucapku memberi setuju
‘’ Iya, aku juga setuju’’. Lanjut Ian
    Ditengah percakapan kami, tiba-tiba Eza mendapat sms dari salah satu temannya yang ada di jawa. Katanya desa kami baru saja terkena bencana banjir bandang. Satu hari yang lalu tepatnya, banjir diakibatkan karena kebiasaan warga desa yang sering membuang sampah disungai.
‘’ Teman-teman aku mendapat sms dari temanku di jawa, katanya desa kita tekena banjir bandang’’
‘’ Kok bisa Za? ‘’ tanyaku penasaran.
‘’ Itu, akibat kebiasaan warga yang sering membuang sampah di sungai’’
‘’ Padahal, waktu kita dulu masih di jawa, sampah satupun nampaknya jarang terlihat menggenang di sungai.’’
‘’ Iya memang, semuanya sudah berubah, nampaknya rasa cinta warga desa terhadap alam sudah mulai berkurang’’.
‘’ Kita harus mengembalikan rasa cinta warga terhadap alam. Hari besok kan kita berangkat ke jawa, paginya kita adakan sosialisasi tentang banjir aja. Baru malamnya kita menonton wayang kulit seperti rencana awal kita.’’ Usulku
‘’ Iya benar, kalau begitu nanti sore kita ketemuan di stasiun saja, biar langsung berangkat’’ kata Eza
‘’ oke’’   
        Satu hari sebelum diadakannya tontonan wayang kulit, tepatnya jam 05.03 pagi kami sudah berada di jawa. memang benar desa kami berubah seratus delapan puluh derajat, sungai yang dahulu kami gunakan untuk mandi bersama kini berubah menjadi sebuah tempat pembuangan sampah warga. Mulai sampah organik sampai yang anorganik ada disitu, mengubah warna jernih airnya menjadi keruh. Sekarang sikap tak peduli warga terhadap lingkungan sudah mulai lenyap. Tepat jam 09.00 pagi kami akan mengadakan sosialisasi mengenai bahaya membuang sampah di sungai. Kami berharap semua warga dapat mengubah kebiasaan buruk tersebut menjadi kebiasaan yang baik. Agar, sungai di desa menjadi indah seperti waktu dahulu. Ketika sedang bersosialisasi bersyukur sekali banyak warga yang datang dan antusias terhadap materi. Selesei kita sosialisasi kita bersama warga bersama-sama bergotong royong membersihkan sungai dan sekitarnya yang masih kotor akibat banjir hari kemarin. Senang sekali, kini desa kami kembali menjadi desa yang jauh dari sampah.
      Malamnya, kami menuju ke balai desa bersama. Menyaksikan pertunjukan wayang yang sudah kami rencanakan sebelumnya. Suasana pada malam itu begitu ramai, kebetulan pertunjukan wayang itu berlangsung pada malam minggu, sehingga banyak anak sekolah yang juga ikut menyaksikan pertunjukan tersebut. Sang dalang memainkan wayang dengan lihainya. Sang sinden menyanyikan lagu jawa dengan merdunya, sang penabuh menabuh insrumen musik dengan semangatnya. Memang sudah menjadi tradisi di desa kami untuk menyambut datangnya bulan suro. Sebenarnya, wayang kulit ini awalnya digunakan sebagai media dakwah para wali pada zamannya, namun karena penonton senang menyaksikan tontonan wayang tersebut akhirnya wayang kulit itu terus tetap ada sampai saat ini. selain itu, ini juga merupakan salah satu warisan indonesia yang perlu dijaga kelestariannya. Semakin bangga saja kami menjadi bangsa indonesia. Benar-benar pertunjukan yang luar biasa, selain untuk menghibur para penonton pertunjukan itu, sekali lagi kami diingatkan dengan indonesia yang kaya akan adat dan budayanya. Sebagai wujud rasa bangga kita terhadap negara kita ini, mari kita jaga dan lestarikan budaya etnik ini. Jangan biarkan warisan negara kita dikuasai oleh pihak-pihak yang tidak berhak menguasai. Cinta IndonesiaJ
                 THE END
by: ast



     

1 comment:

  1. http://nalurerenewws.blogspot.com/2018/08/taipanqq-4-aturan-dasar-menentukan.html

    Taipanbiru
    TAIPANBIRU . COM | QQTAIPAN .NET | ASIATAIPAN . COM |
    -KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
    Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID terbaik nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    1 user ID sudah bisa bermain 8 Permainan.
    BandarQ
    AduQ
    Capsasusun
    Domino99
    Poker
    BandarPoker
    Sakong
    Bandar66

    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • WA: +62 813 8217 0873
    • BB : E314EED5

    Daftar taipanqq

    Taipanqq

    taipanqq.com

    Agen BandarQ

    Kartu Online

    Taipan1945

    Judi Online

    AgenSakong

    ReplyDelete