Assalamualaikum jodohku yang masih direncanakan illahi:-) hai sobast kali ini ast akan share cerpen. semoga bermanfaat yaa. selamat membaca.
JAWAKARTA
Permukaan langit kini mulai dihiasai oleh benang – benang merah
yang memancar dengan jelasnya. Suara adzan Ki Tukiman berkumandang dengan
kerasnya, pertanda waktu sholat maghrib telah tiba.Tak ada satu orangpun keluar
rumah kecuali bagi mereka yang hendak menjalankan ibadah sholat maghrib
berjamaah di mushola. Sudah menjadi kebiasaan di tanah jawa ini, apabila waktu
maghrib telah tiba maka orang – orang dilarang keluar rumah. Apalagi, bagi
mereka wanita remaja, tidak baik katanya. Konon pada waktu maghrib, banyak
makhluk halus atau yang sering orang sebut dengan setan berkeliaran di bumi. Pernyataan ini didukung oleh sebuah
peristiwa, dimana ada seorang ibu muda membawa anaknya pergi keluar rumah pada
waktu maghrib, jelang beberapa hari setelah itu, anaknya tersebut meninggal
dunia. Banyak orang desaku mengklaim
bahwa kematian tersebut akibat pengaruh setan. Entahlah, kebenaranya bagaimana.
Yang pasti sebelum meninggal, anak tersebut sempat sakit demam selama dua
malam. Namun, sifat orang desa yang selalu mengkait-kaitkan dengan hal-hal yang
sebenarnya tidak masuk akal itu masih tetap ada. Memang tidak mudah membuang
kebiasaan yang sudah ada, apalagi di desa.
Terlepas dari semua itu, jika bicara pulau jawa ingin rasanya aku
menjumpainya kembali. Sudah hampir 4 tahun lamanya aku mendiami Ibukota Indonesia.
Kedatanganku bersama keluarga ke kota
metropolitan ini, bukan untuk menghindar atau melupakan tanah kelahiran dan segala budaya etniknya.
Motivasi untuk mengubah hidup agar lebih layaklah yang menjadi alasan mengapa
aku dan keluarga bertamu ke Ibukota. Ketika di desa, perekonomian keluargaku bisa dibilang sangat jauh dari kata
cukup jika dibandingkan dengan tetangga rumahku. Setiap pagi aku harus membantu
ibu mencari kayu bakar untuk kebutuhan memasaknya. Terkadang aku iri dengan
tetanggaku yang segalanya serba cukup. Memasak bisa dengan mudahnya menggunakan
gas elpiji, tanpa harus mencari kayu bakar. Namun, mengapa harus iri? Bukankah
mereka mampu karena usaha? Oleh karena itu, kepergianku bersama keluarga ke Ibukota
merupakan salah satu usaha untuk mengubah hidupku dan keluarga agar lebih baik.
Sama seperti tetangga-tetanggaku tadi.
Orang tuaku sangat memperhatikan pendidikan. Dari kecil,
aku sudah dibekali dengan ilmu agama. Sejak umur enam tahun aku sudah dibiasakan untuk melaksanakan
ibadah sholat wajib. Ayah, ibu, dan aku setiap manghrib selalu sholat secara
berjamaah. Sambil menunggu waktu sholat isya ayah dan ibu mengajariku mengaji.
Karena usiaku yang masih sangat kecil, nampaknya wajar jika seringkali salah
dalam belajar. Namun ayah dan ibuku sangat sabar membimbingku, karena mereka
sangat mengharapkan aku menjadi anak yang sholeh dan sukses nantinya.
“Mugi-mugi ngenjang sampean dados bocah sholeh lan sukses nggeh
nak”, sambil memeluk tubuhku dengan eratnya. Sebagai anak usia empat tahun
sebelas bulan yang belum tau apa-apa hanya gestur mengangguk saja yang dapat
aku lakukan. Serasa ingin kulantunkan kata amin. Semoga Tuhan mengabulkan.
Terkadang aku mengaji dipondok dekat rumah bersama
teman-teman sekolah dasarku. Kebiasaanku dan teman-temanku adalah mengalungkan
sarung dileher dan menggunakan peci seragam yaitu peci berwarna hitam. Sarung, baru
kita pakai ketika kita sampai di pondok. Sesekali ustad mengingatkan kita
supaya sarung langsung dipakai dari rumah.
“Bocah-bocah ngenjang malih, ngangge sarunge langsung saking griyo
nggeh”, nasihat beliau dengan gaya bicara jawanya yang sangat khas. Dengan
serentak kami yang masih bocah hanya menjawab, “Nggeh pak kiyai”, jawab kami
seadanya. Sepulang mengaji pukul empat sore tepatnya, kami ber-empat aku, Doni,
Andri, dan Ian berbondong-bondong menuju halaman rumah Ian. Seperti biasa
setiap pulang mengaji kami selalu bermain kelereng bersama. Diantara empat anak
ini, kebetulan yang paling sering menang adalah aku. Hehe makanya, mereka
bertiga sebelum bermain sering berspekulasi kalau yang akan menang adalah aku.
“Mengko mesti Eza maning sing menang”, tebak Ian setengah pasrah.
Dengan basa jawa ngokonya.
“Iya, mesti Eza maning sing menang”, lanjut Andri dan Doni secara
bersamaan.
“Loh, sampean sedaya dereng sida dolanan sampun kados niku, sida
mboten?”, tanyaku memastikan dengan basa jawa seadanya.
“Sida dong, siapa takut?!”, jawab mereka secara bersamaan.
Memang benar prediksi mereka, jika aku yang akan menang. Walaupun
usiaku paling muda diantara mereka, namun entah kebetulan atau tidak, sering
kali aku menang. Memang usia tidak menjadi suatu jaminan jika yang tua adalah
yang utama.
Sudah dari kecil kami dilatih untuk menggunakan bahasa jawa.
Sehingga kami sudah terbiasa. Kami ber-empat bisa dibilang geng. Bukan geng
sebenarnya, semacam itu pokoknya. Kami sering kali menghabiskan waktu main
secara bersamaan. Setelah pulang sekolah, kami biasanya bermain layang-layang
di sawah tak berpadi. Sesekali layang-layang kami terputus dengan bebasnya. Dan
sering kali kami terjatuh tatkala mengejar layang-layang yang putus. Karena
memang, permukaan sawahnya yang ekstrim. Namun, sering jatuh tidak membuat kita
kapok untuk terus bermain layang-layang. Setelah terdengar adzan dhuhur kami
langsung pulang membiarkan layang-layang yang sudah jauh terbang kearah langit.
Sesegera mungkin kami langsung menuju mushola untuk sholat berjamaah.
Setelah selesai sholat, kami pulang kerumah masing-masing. Jam-jam
segini kami selalu gunakan untuk tidur siang. Dirumah masing-masing pastinya. Sekitar
jam tiga sore, kami menuju ke sungai untuk mandi. Orang desa sering menyebut “dus-dusan”.
Hampir setiap hari kami selalu menghabiskan waktu bersama.
Kebersamaan kami mulai terpisah oleh jarak dan waktu. Sejak SMA,
kami sudah tidak satu sekolahan lagi, pada waktu itulah kami menjadi jarang
bersama. Akibat perkembangan zaman yang semakin modern, adanya alat komunikasi
yang semakin canggih, kami sering kali bercakap ria melalui Blackberry Messager
atau orang lebih sering menyebutnya “BBM”.
Sebenarnya kita berada disatu Ibukota Indonesia. Andri di Jakarta
Timur, Eza di Jakarta Barat, Ian di Jakarta Selatan, dan aku di Jakarta Pusat. Kedengarannya
memang lucu, masa satu Ibukota nggak pernah bertemu? Sekali lagi kesibukan
kamilah yang menjadi alasan kenapa kami jarang, bahkan tidak pernah berkumpul.
Kebetulan sekolah kami banyak memberikan tugas rumah. Presentasi-presentasi,
makalah, laporan, itu salah tiga dari banyak tugas lain yang diberikan guru di
sekolah kami. Walaupun kita tidak satu sekolah, namun sekolah kami satu
kurikulum. Entah kebetulan atau tidak kami bisa berada disatu kota yang sama.
Masing-masing mempunyai alasan mengapa memilih Jakarta sebagai rumah kedua
setelah Tanah Jawa. Aku dan keluargaku pergi ke Jakarta dengan harapan agar
hidup kami lebih baik, kebetulan sekali ayah mempunyai sahabat sukses disana.
Dan ayahku sempat diajak untuk ikut bekerja diperusahaannya. Pada saat itu ayah
sangat memperlukan uang yang cukup banyak untuk membiayai sekolah SMA ku.
Akhirnya, ayah pun menerima ajakan mulia sahabatnya itu. Karena dirasa lebih
efisien jika aku melanjutkan sekolah disana, akhirnya aku, ayah, dan ibu
memutuskan untuk tinggal sementara waktu disana.
Berbeda dengan Andri, ia dan keluarga memang sudah berniat dari
awal untuk berpindah ke Ibukota Jakarta. Lain Andri, lain juga Eza. Eza ke Jakarta
karena dia ikut dengan pamannya, kurang lebih 1 tahun yang lalu orang tuanya wafat
dalam kecelakaan motor. Pada saat itu ia baru kelas tiga SMP dan kedua adiknya
masih duduk di sekolah dasar, begitu terpukul atas kepergian orang tua mereka.
Sebagai teman, pada saat itu aku hanya mampu mendoakan untuk kebahagiaan orangtuanya
disisi-Nya dan mendoakan yang terbaik untuk Eza dan keluarga. Beruntung, paman
Eza yang di Jakarta begitu baik dan peduli terhadapnya. Sehingga, Eza dan kedua
adiknya bertempat tinggal di rumah pamannya yang berada di Jakarta.
Lain Andri, lain Eza, lain juga Ian. Ian bermukim di Jakarta karena
ikut bersama kedua orang tuanya yang bekerja disana. Dari kecil ia bersama
nenek dan kakeknya di Jawa. Jarang sekali mereka bertemu, mungkin setiap hari
raya saja ayah dan ibunya berpulang kerumah neneknya di Jawa. Akhirnya, setelah
lulus dari SMP, ayah dan ibunya menyarankan Ian agar ia melanjutkan sekolah di
Jakarta. Tanpa pikir panjang akhirnya ian mengiyakan saran orang tuanya
tersebut.
Kehidupan di ibukota
sangat jauh dari kehidupan di desa. Mulai dari lingkungan hingga penduduknya.
Banyak sungai yang digunakan tidak sesuai dengan yang seharusnya, sampah seolah
tak terhitung lagi jumlahnya. Tak heran jika sering terjadi banjir dikota ini.
Bukan salah siapa-siapa, bukan salah kepala negara, bukan pula salah rakyatnya.
Namun, kalau bicara ini karena siapa? Maka, jawabannya adalah karena
orang-orang yang tidak peduli dengan lingkungan. Itu sebabnya banyak orang di
ibukota yang merindukan suasana desa yang asri, dan sejuk.
Pengaruh globalisasi
sudah sampai ditanah air Indonesia ini.Gaya hidup kebarat-baratan, gaya bicara
kebule-bulean, pelan-pelan melunturkan budaya etnik yang ada.Tidak ada salahnya
memang kita mengikuti gaya orang barat, namun segala sesuatu yang berlebihan
bukankah itu tidak baik? Cukup kita meniru hal positif nya saja. Hal-hal yang
memang tidak perlu kita tiru tidak seharusnya kita tiru. Apalagi, jika hal yang
kita tiru menghanyutkan dan menjadikan kita lupa dengan budaya asli indonesia.
Jika hal seperti itu dibiarkan maka, kearifan lokalpun akan hilang dengan
sendirinya.
Sebagai penduduk Jakarta
yang baru, kami butuh waktu untuk beradaptasi. Logat jawaku yang sudah mendarah
daging masih nampak jelas, karena memang
selama di jawa bahasa keseharianku adalah bahasa jawa. Aku yakin setiap orang
yang berdialog denganku, langsung mengetahui asal daerahku tanpa menanyakannya
terlebih dahulu.
Anak-anak disekolahku
disini juga tidak kalah baik dengan teman-teman di desaku dulu. Bedanya jika
dulu sepulang sekolah aku dan teman-temanku lebih banyak menghabiskan waktu
untuk bermain, sekarang aku dan teman-temanku disini sepulang sekolah langsung
mengerjakan tugas secara berkelompok. Mungkin, karena sudah sekolah menengah
atas jadi lebih memfokuskan untuk menuju keperguruan tinggi. Apalagi, aku dan
ketiga temanku mempunyai cita cita untuk melanjutkan keperguruan tinggi yang
sama.
Aku yakin ketiga temanku yang lain juga
merasakan hal yang sama denganku. Kesibukan seperti inilah, yang sering
membuatku rindu akan kebersamaan kami waktu bermain bersama.
Selama tiga tahun kami
menempuh pendidikan menengah atas. Akhirnya, ijazah SMA pun kami dapatkan.
Selama tiga tahun tersebut tidak ada tegur sapa secara langsung diantara kami.
Hanya media handphone saja yang sering kami lakukan untuk mengobati rasa rindu
kami. Liburan semester, lebih kami gunakan untuk tetap dirumah bersama keluarga.
Setelah kami lulus
kami melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi. Kali ini benar benar sebuah
kebetulan, selama kita berdialog dan berkomunikasi melalui handphone tidak
pernah kami bersepakat untuk masuk ke perguruan tinggi yang sama. Namun, kami
berempat memang sudah ada keinginan untuk masuk perguruan tinggi yang sama.
Universitas Indonesia lah yang menjadi tempat kita berkumpul bersama kembali.
Di atas lahan inilah kami berjumpa kembali setelah bertaun-taun tidak saling
tatap dan cakap secara langsung. Mereka benar-benar berubah, baik secara fisik
ataupun non fisik. Dimulai dari Andri yang hitam, gendut sekarang menjadi
lelaki yang putih dan cool silahkan dibayangkan. Eza, yag dulunya kurus, pendek
sekarang berubah menjadi lelaki yang bertubuh proporsional. Ian, yang dulunya
kuntet sekarang berubah menjadi laki-laki yang berukuran tubuh tinggi sedang.
Jangan tanyakan aku, karena aku juga berubah seperti mereka. Hehe
Kami benar- benar
bahagia, pertemuan itu kami manfaatkan dengan baik. Kami pun becakap ria. Di
dalam percakapan sesekali kami membicarakan tentang tanah kelahiran kami, tak
jarang kami tertawa bersama setelah mengingat kebersamaan kami di jawa, mengaji
bersama, main kelereng, main layang-layang dan seterusnya.
‘’ Kalian masih ingat bukan
waktu kita main layang-layang kemudian layang-layang kita putus lalu
mengejarnya dan akhirnya kita jatuh bersamaan hehe?’’. Cakap Eza seakan
mengingatkan.
‘’ Hahaha..... iya, aku ingat. Ingat sekali’’ lanjut Ian.
‘’ Kapan –kapan kita pulang ke jawa yuk. Sudah lama sekali kita
tidak berpulang kesana. Aku benar-benar merindukan segalanya yang ada disana.’’
‘’ Ia, aku juga demikian. Sebentar lagi kan bulan syuro pasti ada
pertunjukan wayang kulit didesa. Kebetulan juga akhir tahun ini kita kan belum
mulai kuliah, apa tidak sebaikya jika kita berkunjung pada waktu itu, sekalian
kita menonton pertunjukan wayang tersebut’’. Usul Andri.
‘’ Ide yang bagus, aku setuju kapan lagi ada peluang waktu semacam
ini. Aku setuju’’ ucapku memberi setuju
‘’ Iya, aku juga setuju’’. Lanjut Ian
Ditengah percakapan kami,
tiba-tiba Eza mendapat sms dari salah satu temannya yang ada di jawa. Katanya
desa kami baru saja terkena bencana banjir bandang. Satu hari yang lalu
tepatnya, banjir diakibatkan karena kebiasaan warga desa yang sering membuang
sampah disungai.
‘’ Teman-teman aku mendapat sms dari temanku di jawa, katanya desa
kita tekena banjir bandang’’
‘’ Kok bisa Za? ‘’ tanyaku penasaran.
‘’ Itu, akibat kebiasaan warga yang sering membuang sampah di
sungai’’
‘’ Padahal, waktu kita dulu masih di jawa, sampah satupun nampaknya
jarang terlihat menggenang di sungai.’’
‘’ Iya memang, semuanya sudah berubah, nampaknya rasa cinta warga
desa terhadap alam sudah mulai berkurang’’.
‘’ Kita harus mengembalikan rasa cinta warga terhadap alam. Hari
besok kan kita berangkat ke jawa, paginya kita adakan sosialisasi tentang
banjir aja. Baru malamnya kita menonton wayang kulit seperti rencana awal
kita.’’ Usulku
‘’ Iya benar, kalau begitu nanti sore kita ketemuan di stasiun
saja, biar langsung berangkat’’ kata Eza
‘’ oke’’
Satu hari sebelum
diadakannya tontonan wayang kulit, tepatnya jam 05.03 pagi kami sudah berada di
jawa. memang benar desa kami berubah seratus delapan puluh derajat, sungai yang
dahulu kami gunakan untuk mandi bersama kini berubah menjadi sebuah tempat
pembuangan sampah warga. Mulai sampah organik sampai yang anorganik ada disitu,
mengubah warna jernih airnya menjadi keruh. Sekarang sikap tak peduli warga
terhadap lingkungan sudah mulai lenyap. Tepat jam 09.00 pagi kami akan
mengadakan sosialisasi mengenai bahaya membuang sampah di sungai. Kami berharap
semua warga dapat mengubah kebiasaan buruk tersebut menjadi kebiasaan yang
baik. Agar, sungai di desa menjadi indah seperti waktu dahulu. Ketika sedang
bersosialisasi bersyukur sekali banyak warga yang datang dan antusias terhadap
materi. Selesei kita sosialisasi kita bersama warga bersama-sama bergotong
royong membersihkan sungai dan sekitarnya yang masih kotor akibat banjir hari
kemarin. Senang sekali, kini desa kami kembali menjadi desa yang jauh dari
sampah.
Malamnya, kami menuju
ke balai desa bersama. Menyaksikan pertunjukan wayang yang sudah kami
rencanakan sebelumnya. Suasana pada malam itu begitu ramai, kebetulan
pertunjukan wayang itu berlangsung pada malam minggu, sehingga banyak anak
sekolah yang juga ikut menyaksikan pertunjukan tersebut. Sang dalang memainkan
wayang dengan lihainya. Sang sinden menyanyikan lagu jawa dengan merdunya, sang
penabuh menabuh insrumen musik dengan semangatnya. Memang sudah menjadi tradisi
di desa kami untuk menyambut datangnya bulan suro. Sebenarnya, wayang kulit ini
awalnya digunakan sebagai media dakwah para wali pada zamannya, namun karena penonton
senang menyaksikan tontonan wayang tersebut akhirnya wayang kulit itu terus
tetap ada sampai saat ini. selain itu, ini juga merupakan salah satu warisan
indonesia yang perlu dijaga kelestariannya. Semakin bangga saja kami menjadi
bangsa indonesia. Benar-benar pertunjukan yang luar biasa, selain untuk
menghibur para penonton pertunjukan itu, sekali lagi kami diingatkan dengan
indonesia yang kaya akan adat dan budayanya. Sebagai wujud rasa bangga kita
terhadap negara kita ini, mari kita jaga dan lestarikan budaya etnik ini.
Jangan biarkan warisan negara kita dikuasai oleh pihak-pihak yang tidak berhak
menguasai. Cinta IndonesiaJ
THE END
by: ast
by: ast
http://nalurerenewws.blogspot.com/2018/08/taipanqq-4-aturan-dasar-menentukan.html
ReplyDeleteTaipanbiru
TAIPANBIRU . COM | QQTAIPAN .NET | ASIATAIPAN . COM |
-KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID terbaik nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 8 Permainan.
• BandarQ
• AduQ
• Capsasusun
• Domino99
• Poker
• BandarPoker
• Sakong
• Bandar66
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• WA: +62 813 8217 0873
• BB : E314EED5
Daftar taipanqq
Taipanqq
taipanqq.com
Agen BandarQ
Kartu Online
Taipan1945
Judi Online
AgenSakong