Saturday 18 June 2016

Cerpen Tragis Hadiah yang Berujung pada Kematian


Hadiah yang Berujung pada Kematian
Oleh MALIK FAJAR ABDILLAH
Sore itu, Colbert berjalan sedikit tergesa – gesa. Sesekali dia melihat piala yang dia genggam, dia sudah tidak sabar untuk cepat – cepat sampai di rumah. Lalu dia berlari bagaikan cheetah melintasi jalan setapak. Dari kejauhan, rumahnya yang memang berada di tengah sawah mulai terlihat jelas. Rumah beratap daun kelapa yang sudah kering dengan tiang bambu, membuat rumahnya seakan sangat ramah lingkungan. Sampai depan rumah, Colbert segera membuka pintu, di dalam rumah tidak ada seorang pun kecuali Colbert. Colbert di rumah hanya tinggal bersama Ibunya, karena Ayah Colbert meninggal saat dia berusia tiga tahun.
Colbert mencari Ibunya ke Ruang keluarga, namun kosong, di kamar, di dapur pun tidak ada. Lalu Colbert pergi ke belakang rumah tempat keluarganya beternak kelinci. Benar saja, Ibunya sedang asik memberi makan kelinci. Betapa senangnya Colbert bisa bertemu Ibunya setelah berbulan – bulan dia mengikuti kompetisi Sepakbola di Provinsi Determine.
“Ibu, Colbert pulang!” sapa Colbert. Namun apa yang terjadi, Ibunya tidak merespon sedikit pun. Colbert lalu mengulangi lagi sampai tiga kali, tetap saja Ibunya tidak merespon. Tidak lama kemudian, Ibunya selesai memberi makan kelinci dan segera masuk ke dalam rumah. Colbert mendatangi Ibunya sambil tersenyum manis. Namun Ibunya tidak merespon lagi apa yang dilakukan oleh Colbert. Sampai di sini, Colbert semakin bingung dengan sikap Ibu kepadanya.
“Ibu, Colbert sudah pulang bu, Colbert berhasil bu” terang Colbert. Ibunya yang sedang duduk di sofa yang ada di ruang keluarga tidak merespon sedikit pun. Colbert semakin cemas dengan sikap Ibunya.
Dalam keheningan, datanglah dua orang berpakaian putih layaknya seorang dokter. Colbert dan Ibunya tidak ada yang mengenali mereka.
Tok.. tok.. tok.. “Assalamualaikum” salam salah satu orang berpakaian putih.
“Walaikumsalam” jawab ibu Colbert
“Dengan ibu dari Cristhoper de Vincente Colbert Rio de Jeniero da Costa Aveiro Junior dos Santos?” tanya salah satu orang berpakaian putih
“Iya benar, ayo silahkan masuk” Ibu Colbert mempersilahkan untuk masuk dan duduk di sofa
“Ada apa ya mas?” tanya Ibu Colbert
“Begini bu, maksud kedatangan kami yang pertama ingin memberitahu ibu bahwa anak Ibu yang bernama Cristhoper de Vincente Colbert Rio de Jeniero da Costa Aveiro Junior dos Santos telah berhasil membawa tim sepakbolanya menjadi juara satu dalam kompetisi Sepakbola di Provinsi Determine. Yang kedua, dia saat menjadi kiper, pada menit terakhir berusaha menghalau bola, namun tanpa disengaja kepala Colbert membentur mistar gawang dengan sangat keras. Benturan itu membuatnya tak sadarkan diri dan membuatnya mengalami pendarahan yang membuatnya kehilangan banyak darah sehingga harus dibawa ke rumah sakit. Dokter di sana sudah berusaha keras mengurangi pendarahan yang dia alami, namun karena sudah terlalu parah, itu membuat dia tidak mampu bertahan lagi” jelas satu orang berpakaian putih
“Innalillahi wainailaihi rojiun, Colbert...” ibunya terisak tak mampu menahan rasa sedihnya
Mendengar hal tersebut, Colbert teringat. Saat itu pertandingan final memasuki menit 89 dan timnya sedang  unggul 3-0. Tim lawan sedang menyerang pertahanan timnya. Sebuah bola melucur sangat cepat ke arah pojok gawang, kemudian melompat berusaha menahan bola tersebut, bola berhasil masuk dan kepalanya berhasil membentur mistar gawang. Dia jatuh dan tidak sadarkan diri.
“Jadi, aku sudah mati? Tidak mungkin, padahal aku belum sempat memberikan kado untuk Ibuku” tanya Colbert dalam hati. Colbert memang sangat ingin menunjukan bahwa dia mampu mendapatkan sesuatu yang berharga dari hobinya bermain sepakbola. Colbert sudah merencanakan piala yang dia dapatkan akan dia jadikan kado ulang tahun Ibunya yang ke 55 tepat pada hari final kompetisi berlangsung. Colbert terlihat sangat sedih dan sekaligus tidak percaya, cepat sekali hidupnya berakhir padahal dia belum merasa pernah membahagiakan Ibunya dan umurnya bahkan belum genap 17 tahun.
Kini Colbert hanya bisa pasrah dengan keadaan. Colbert sudah merelakan semuanya. Dia kini sudah merasa waktunya bertemu dengan Ayahnya yang sudah terlebih dahulu meninggal. Sudah lebih dari 13 tahun dia tidak bertemu dengan Ayahnya.
Colbert percaya, saat itu akan datang. Saat di mana seseorang meninggalkan dunia. Semua orang, iya semua orang akan mengalami yang namanya kematian. Perlahan tapi pasti, sosok Colbert mulai pudar, bagaikan ditelan oleh udara.

Terinspirasi dari seorang kiper bernama Petr Cech yang kepalanya mengalami retak akibat benturan dengan salah seorang pemain Reading dalam pertandingan Liga Inggris.

Cerpen Kearifan Lokal Jawakarta

Assalamualaikum  jodohku yang masih direncanakan illahi:-) hai sobast kali ini ast akan share cerpen. semoga bermanfaat yaa. selamat membaca.


JAWAKARTA
Permukaan langit kini mulai dihiasai oleh benang – benang merah yang memancar dengan jelasnya. Suara adzan Ki Tukiman berkumandang dengan kerasnya, pertanda waktu sholat maghrib telah tiba.Tak ada satu orangpun keluar rumah kecuali bagi mereka yang hendak menjalankan ibadah sholat maghrib berjamaah di mushola. Sudah menjadi kebiasaan di tanah jawa ini, apabila waktu maghrib telah tiba maka orang – orang dilarang keluar rumah. Apalagi, bagi mereka wanita remaja, tidak baik katanya. Konon pada waktu maghrib, banyak makhluk halus atau yang sering orang sebut dengan setan berkeliaran di bumi.  Pernyataan ini didukung oleh sebuah peristiwa, dimana ada seorang ibu muda membawa anaknya pergi keluar rumah pada waktu maghrib, jelang beberapa hari setelah itu, anaknya tersebut meninggal dunia. Banyak  orang desaku mengklaim bahwa kematian tersebut akibat pengaruh setan. Entahlah, kebenaranya bagaimana. Yang pasti sebelum meninggal, anak tersebut sempat sakit demam selama dua malam. Namun, sifat orang desa yang selalu mengkait-kaitkan dengan hal-hal yang sebenarnya tidak masuk akal itu masih tetap ada. Memang tidak mudah membuang kebiasaan yang sudah ada, apalagi di desa.
Terlepas dari semua itu, jika bicara pulau jawa ingin rasanya aku menjumpainya kembali. Sudah hampir 4 tahun lamanya aku mendiami Ibukota Indonesia. Kedatanganku bersama keluarga  ke kota metropolitan ini, bukan untuk menghindar atau melupakan  tanah kelahiran dan segala budaya etniknya. Motivasi untuk mengubah hidup agar lebih layaklah yang menjadi alasan mengapa aku dan keluarga bertamu ke Ibukota. Ketika di desa, perekonomian  keluargaku bisa dibilang sangat jauh dari kata cukup jika dibandingkan dengan tetangga rumahku. Setiap pagi aku harus membantu ibu mencari kayu bakar untuk kebutuhan memasaknya. Terkadang aku iri dengan tetanggaku yang segalanya serba cukup. Memasak bisa dengan mudahnya menggunakan gas elpiji, tanpa harus mencari kayu bakar. Namun, mengapa harus iri? Bukankah mereka mampu karena usaha? Oleh karena itu, kepergianku bersama keluarga ke Ibukota merupakan salah satu usaha untuk mengubah hidupku dan keluarga agar lebih baik. Sama seperti tetangga-tetanggaku tadi.
            Orang tuaku sangat memperhatikan pendidikan. Dari kecil, aku sudah dibekali dengan ilmu agama. Sejak umur  enam tahun aku sudah dibiasakan untuk melaksanakan ibadah sholat wajib. Ayah, ibu, dan aku setiap manghrib selalu sholat secara berjamaah. Sambil menunggu waktu sholat isya ayah dan ibu mengajariku mengaji. Karena usiaku yang masih sangat kecil, nampaknya wajar jika seringkali salah dalam belajar. Namun ayah dan ibuku sangat sabar membimbingku, karena mereka sangat mengharapkan aku menjadi anak yang sholeh dan sukses nantinya.
“Mugi-mugi ngenjang sampean dados bocah sholeh lan sukses nggeh nak”, sambil memeluk tubuhku dengan eratnya. Sebagai anak usia empat tahun sebelas bulan yang belum tau apa-apa hanya gestur mengangguk saja yang dapat aku lakukan. Serasa ingin kulantunkan kata amin. Semoga Tuhan mengabulkan.
            Terkadang aku mengaji dipondok dekat rumah bersama teman-teman sekolah dasarku. Kebiasaanku dan teman-temanku adalah mengalungkan sarung dileher dan menggunakan peci seragam yaitu peci berwarna hitam. Sarung, baru kita pakai ketika kita sampai di pondok. Sesekali ustad mengingatkan kita supaya sarung langsung dipakai dari rumah.
“Bocah-bocah ngenjang malih, ngangge sarunge langsung saking griyo nggeh”, nasihat beliau dengan gaya bicara jawanya yang sangat khas. Dengan serentak kami yang masih bocah hanya menjawab, “Nggeh pak kiyai”, jawab kami seadanya. Sepulang mengaji pukul empat sore tepatnya, kami ber-empat aku, Doni, Andri, dan Ian berbondong-bondong menuju halaman rumah Ian. Seperti biasa setiap pulang mengaji kami selalu bermain kelereng bersama. Diantara empat anak ini, kebetulan yang paling sering menang adalah aku. Hehe makanya, mereka bertiga sebelum bermain sering berspekulasi kalau yang akan menang adalah aku.
“Mengko mesti Eza maning sing menang”, tebak Ian setengah pasrah. Dengan basa jawa ngokonya.
“Iya, mesti Eza maning sing menang”, lanjut Andri dan Doni secara bersamaan.
“Loh, sampean sedaya dereng sida dolanan sampun kados niku, sida mboten?”, tanyaku memastikan dengan basa jawa seadanya.
“Sida dong, siapa takut?!”, jawab mereka secara bersamaan.
Memang benar prediksi mereka, jika aku yang akan menang. Walaupun usiaku paling muda diantara mereka, namun entah kebetulan atau tidak, sering kali aku menang. Memang usia tidak menjadi suatu jaminan jika yang tua adalah yang utama.
Sudah dari kecil kami dilatih untuk menggunakan bahasa jawa. Sehingga kami sudah terbiasa. Kami ber-empat bisa dibilang geng. Bukan geng sebenarnya, semacam itu pokoknya. Kami sering kali menghabiskan waktu main secara bersamaan. Setelah pulang sekolah, kami biasanya bermain layang-layang di sawah tak berpadi. Sesekali layang-layang kami terputus dengan bebasnya. Dan sering kali kami terjatuh tatkala mengejar layang-layang yang putus. Karena memang, permukaan sawahnya yang ekstrim. Namun, sering jatuh tidak membuat kita kapok untuk terus bermain layang-layang. Setelah terdengar adzan dhuhur kami langsung pulang membiarkan layang-layang yang sudah jauh terbang kearah langit. Sesegera mungkin kami langsung menuju mushola untuk sholat berjamaah.
Setelah selesai sholat, kami pulang kerumah masing-masing. Jam-jam segini kami selalu gunakan untuk tidur siang. Dirumah masing-masing pastinya. Sekitar jam tiga sore, kami menuju ke sungai untuk mandi. Orang desa sering menyebut “dus-dusan”. Hampir setiap hari kami selalu menghabiskan waktu bersama.
Kebersamaan kami mulai terpisah oleh jarak dan waktu. Sejak SMA, kami sudah tidak satu sekolahan lagi, pada waktu itulah kami menjadi jarang bersama. Akibat perkembangan zaman yang semakin modern, adanya alat komunikasi yang semakin canggih, kami sering kali bercakap ria melalui Blackberry Messager atau orang lebih sering menyebutnya “BBM”.
Sebenarnya kita berada disatu Ibukota Indonesia. Andri di Jakarta Timur, Eza di Jakarta Barat, Ian di Jakarta Selatan, dan aku di Jakarta Pusat. Kedengarannya memang lucu, masa satu Ibukota nggak pernah bertemu? Sekali lagi kesibukan kamilah yang menjadi alasan kenapa kami jarang, bahkan tidak pernah berkumpul. Kebetulan sekolah kami banyak memberikan tugas rumah. Presentasi-presentasi, makalah, laporan, itu salah tiga dari banyak tugas lain yang diberikan guru di sekolah kami. Walaupun kita tidak satu sekolah, namun sekolah kami satu kurikulum. Entah kebetulan atau tidak kami bisa berada disatu kota yang sama. Masing-masing mempunyai alasan mengapa memilih Jakarta sebagai rumah kedua setelah Tanah Jawa. Aku dan keluargaku pergi ke Jakarta dengan harapan agar hidup kami lebih baik, kebetulan sekali ayah mempunyai sahabat sukses disana. Dan ayahku sempat diajak untuk ikut bekerja diperusahaannya. Pada saat itu ayah sangat memperlukan uang yang cukup banyak untuk membiayai sekolah SMA ku. Akhirnya, ayah pun menerima ajakan mulia sahabatnya itu. Karena dirasa lebih efisien jika aku melanjutkan sekolah disana, akhirnya aku, ayah, dan ibu memutuskan untuk tinggal sementara waktu disana.
Berbeda dengan Andri, ia dan keluarga memang sudah berniat dari awal untuk berpindah ke Ibukota Jakarta. Lain Andri, lain juga Eza. Eza ke Jakarta karena dia ikut dengan pamannya, kurang lebih 1 tahun yang lalu orang tuanya wafat dalam kecelakaan motor. Pada saat itu ia baru kelas tiga SMP dan kedua adiknya masih duduk di sekolah dasar, begitu terpukul atas kepergian orang tua mereka. Sebagai teman, pada saat itu aku hanya mampu mendoakan untuk kebahagiaan orangtuanya disisi-Nya dan mendoakan yang terbaik untuk Eza dan keluarga. Beruntung, paman Eza yang di Jakarta begitu baik dan peduli terhadapnya. Sehingga, Eza dan kedua adiknya bertempat tinggal di rumah pamannya yang berada di Jakarta.
Lain Andri, lain Eza, lain juga Ian. Ian bermukim di Jakarta karena ikut bersama kedua orang tuanya yang bekerja disana. Dari kecil ia bersama nenek dan kakeknya di Jawa. Jarang sekali mereka bertemu, mungkin setiap hari raya saja ayah dan ibunya berpulang kerumah neneknya di Jawa. Akhirnya, setelah lulus dari SMP, ayah dan ibunya menyarankan Ian agar ia melanjutkan sekolah di Jakarta. Tanpa pikir panjang akhirnya ian mengiyakan saran orang tuanya tersebut.
        Kehidupan di ibukota sangat jauh dari kehidupan di desa. Mulai dari lingkungan hingga penduduknya. Banyak sungai yang digunakan tidak sesuai dengan yang seharusnya, sampah seolah tak terhitung lagi jumlahnya. Tak heran jika sering terjadi banjir dikota ini. Bukan salah siapa-siapa, bukan salah kepala negara, bukan pula salah rakyatnya. Namun, kalau bicara ini karena siapa? Maka, jawabannya adalah karena orang-orang yang tidak peduli dengan lingkungan. Itu sebabnya banyak orang di ibukota yang merindukan suasana desa yang asri, dan sejuk.
       Pengaruh globalisasi sudah sampai ditanah air Indonesia ini.Gaya hidup kebarat-baratan, gaya bicara kebule-bulean, pelan-pelan melunturkan budaya etnik yang ada.Tidak ada salahnya memang kita mengikuti gaya orang barat, namun segala sesuatu yang berlebihan bukankah itu tidak baik? Cukup kita meniru hal positif nya saja. Hal-hal yang memang tidak perlu kita tiru tidak seharusnya kita tiru. Apalagi, jika hal yang kita tiru menghanyutkan dan menjadikan kita lupa dengan budaya asli indonesia. Jika hal seperti itu dibiarkan maka, kearifan lokalpun akan hilang dengan sendirinya.
      Sebagai penduduk Jakarta yang baru, kami butuh waktu untuk beradaptasi. Logat jawaku yang sudah mendarah daging  masih nampak jelas, karena memang selama di jawa bahasa keseharianku adalah bahasa jawa. Aku yakin setiap orang yang berdialog denganku, langsung mengetahui asal daerahku tanpa menanyakannya terlebih dahulu.
 
       Anak-anak disekolahku disini juga tidak kalah baik dengan teman-teman di desaku dulu. Bedanya jika dulu sepulang sekolah aku dan teman-temanku lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain, sekarang aku dan teman-temanku disini sepulang sekolah langsung mengerjakan tugas secara berkelompok. Mungkin, karena sudah sekolah menengah atas jadi lebih memfokuskan untuk menuju keperguruan tinggi. Apalagi, aku dan ketiga temanku mempunyai cita cita untuk melanjutkan keperguruan tinggi yang sama.
     Aku yakin ketiga temanku yang lain juga merasakan hal yang sama denganku. Kesibukan seperti inilah, yang sering membuatku rindu akan kebersamaan kami waktu bermain bersama.
       Selama tiga tahun kami menempuh pendidikan menengah atas. Akhirnya, ijazah SMA pun kami dapatkan. Selama tiga tahun tersebut tidak ada tegur sapa secara langsung diantara kami. Hanya media handphone saja yang sering kami lakukan untuk mengobati rasa rindu kami. Liburan semester, lebih kami gunakan untuk tetap dirumah bersama keluarga.
       Setelah kami lulus kami melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi. Kali ini benar benar sebuah kebetulan, selama kita berdialog dan berkomunikasi melalui handphone tidak pernah kami bersepakat untuk masuk ke perguruan tinggi yang sama. Namun, kami berempat memang sudah ada keinginan untuk masuk perguruan tinggi yang sama. Universitas Indonesia lah yang menjadi tempat kita berkumpul bersama kembali. Di atas lahan inilah kami berjumpa kembali setelah bertaun-taun tidak saling tatap dan cakap secara langsung. Mereka benar-benar berubah, baik secara fisik ataupun non fisik. Dimulai dari Andri yang hitam, gendut sekarang menjadi lelaki yang putih dan cool silahkan dibayangkan. Eza, yag dulunya kurus, pendek sekarang berubah menjadi lelaki yang bertubuh proporsional. Ian, yang dulunya kuntet sekarang berubah menjadi laki-laki yang berukuran tubuh tinggi sedang. Jangan tanyakan aku, karena aku juga berubah seperti mereka. Hehe
       Kami benar- benar bahagia, pertemuan itu kami manfaatkan dengan baik. Kami pun becakap ria. Di dalam percakapan sesekali kami membicarakan tentang tanah kelahiran kami, tak jarang kami tertawa bersama setelah mengingat kebersamaan kami di jawa, mengaji bersama, main kelereng, main layang-layang dan seterusnya.
‘’ Kalian  masih ingat bukan waktu kita main layang-layang kemudian layang-layang kita putus lalu mengejarnya dan akhirnya kita jatuh bersamaan hehe?’’. Cakap Eza seakan mengingatkan.
‘’ Hahaha..... iya, aku ingat. Ingat sekali’’ lanjut Ian.
‘’ Kapan –kapan kita pulang ke jawa yuk. Sudah lama sekali kita tidak berpulang kesana. Aku benar-benar merindukan segalanya yang ada disana.’’
‘’ Ia, aku juga demikian. Sebentar lagi kan bulan syuro pasti ada pertunjukan wayang kulit didesa. Kebetulan juga akhir tahun ini kita kan belum mulai kuliah, apa tidak sebaikya jika kita berkunjung pada waktu itu, sekalian kita menonton pertunjukan wayang tersebut’’. Usul Andri.
‘’ Ide yang bagus, aku setuju kapan lagi ada peluang waktu semacam ini. Aku setuju’’ ucapku memberi setuju
‘’ Iya, aku juga setuju’’. Lanjut Ian
    Ditengah percakapan kami, tiba-tiba Eza mendapat sms dari salah satu temannya yang ada di jawa. Katanya desa kami baru saja terkena bencana banjir bandang. Satu hari yang lalu tepatnya, banjir diakibatkan karena kebiasaan warga desa yang sering membuang sampah disungai.
‘’ Teman-teman aku mendapat sms dari temanku di jawa, katanya desa kita tekena banjir bandang’’
‘’ Kok bisa Za? ‘’ tanyaku penasaran.
‘’ Itu, akibat kebiasaan warga yang sering membuang sampah di sungai’’
‘’ Padahal, waktu kita dulu masih di jawa, sampah satupun nampaknya jarang terlihat menggenang di sungai.’’
‘’ Iya memang, semuanya sudah berubah, nampaknya rasa cinta warga desa terhadap alam sudah mulai berkurang’’.
‘’ Kita harus mengembalikan rasa cinta warga terhadap alam. Hari besok kan kita berangkat ke jawa, paginya kita adakan sosialisasi tentang banjir aja. Baru malamnya kita menonton wayang kulit seperti rencana awal kita.’’ Usulku
‘’ Iya benar, kalau begitu nanti sore kita ketemuan di stasiun saja, biar langsung berangkat’’ kata Eza
‘’ oke’’   
        Satu hari sebelum diadakannya tontonan wayang kulit, tepatnya jam 05.03 pagi kami sudah berada di jawa. memang benar desa kami berubah seratus delapan puluh derajat, sungai yang dahulu kami gunakan untuk mandi bersama kini berubah menjadi sebuah tempat pembuangan sampah warga. Mulai sampah organik sampai yang anorganik ada disitu, mengubah warna jernih airnya menjadi keruh. Sekarang sikap tak peduli warga terhadap lingkungan sudah mulai lenyap. Tepat jam 09.00 pagi kami akan mengadakan sosialisasi mengenai bahaya membuang sampah di sungai. Kami berharap semua warga dapat mengubah kebiasaan buruk tersebut menjadi kebiasaan yang baik. Agar, sungai di desa menjadi indah seperti waktu dahulu. Ketika sedang bersosialisasi bersyukur sekali banyak warga yang datang dan antusias terhadap materi. Selesei kita sosialisasi kita bersama warga bersama-sama bergotong royong membersihkan sungai dan sekitarnya yang masih kotor akibat banjir hari kemarin. Senang sekali, kini desa kami kembali menjadi desa yang jauh dari sampah.
      Malamnya, kami menuju ke balai desa bersama. Menyaksikan pertunjukan wayang yang sudah kami rencanakan sebelumnya. Suasana pada malam itu begitu ramai, kebetulan pertunjukan wayang itu berlangsung pada malam minggu, sehingga banyak anak sekolah yang juga ikut menyaksikan pertunjukan tersebut. Sang dalang memainkan wayang dengan lihainya. Sang sinden menyanyikan lagu jawa dengan merdunya, sang penabuh menabuh insrumen musik dengan semangatnya. Memang sudah menjadi tradisi di desa kami untuk menyambut datangnya bulan suro. Sebenarnya, wayang kulit ini awalnya digunakan sebagai media dakwah para wali pada zamannya, namun karena penonton senang menyaksikan tontonan wayang tersebut akhirnya wayang kulit itu terus tetap ada sampai saat ini. selain itu, ini juga merupakan salah satu warisan indonesia yang perlu dijaga kelestariannya. Semakin bangga saja kami menjadi bangsa indonesia. Benar-benar pertunjukan yang luar biasa, selain untuk menghibur para penonton pertunjukan itu, sekali lagi kami diingatkan dengan indonesia yang kaya akan adat dan budayanya. Sebagai wujud rasa bangga kita terhadap negara kita ini, mari kita jaga dan lestarikan budaya etnik ini. Jangan biarkan warisan negara kita dikuasai oleh pihak-pihak yang tidak berhak menguasai. Cinta IndonesiaJ
                 THE END
by: ast



     

Friday 17 June 2016

Naskah Drama Toleransi

Assalamualaikum jodohku yang masih dirahasiakan illahi:-)
  okey, bagi sobast yang lagi butuh atau lagi pengin mbaca drama yang gak biasa, kali ini ast akan meng sharenya. sebelumnya maaf-maaf yah kalau isinya biasa biasa aja hihi. tapi, percayalah itu tulisan tangan ast sendiri loh haha. latar belakang pembuatan drama ini karena awalnya ada tugas agama suruh mbuat film drama, nah kebetulan satu kelas belum ada yang mbuat yaudah iseng-iseng aja ast mbuat tulisan ini. yaudah jadinya seadanya gini deh....selamat membaca, semoga bermanfaat.


    Sebuah film drama Tentang  ‘’ Toleransi Beragama’’.
                       ‘’ BISMILLAH’’
        ( Because ISlaM Is Last Love from Allah)
By: Ast
 Tokoh dan Peran:
1.       Glen: Nonis, Ganteng, Angkuh, Sombong.               
2.       Aldo : Nonis,Teman karib Glen, humoris.                  
3.       Reza: Ketua kelas, Religius man.                                 
4.       Zahrana: Lemah lembut, Sholehah.                         
5.       Annisa : blak-blakan                                                    
6.       Rahma : cerdas, pemberani.                                         
7.       Risti: teman Annisa                                                       
8.       Ratih : Guru pkn ( meyenangkan )                               
9.       Hakim:  Seneng jajan                                                   
10.   Ilham : rajin ibadah                                                       
11.   Dewi: penyabar                                                            
12.   Rina : teman sebangku Annisa                                    
13.   Nanda: care                                                                  
14.   Ayu: bersahabat                                                           

          Teng....teng.. tepat pukul  10.00 WIB. Bel istirahat sekolah berbunyi. Untuk sementara KBM ( Kegiatan Belajar Mengajar. Seperti biasa Hakim dan dua temannya Andre dan Bagas segera bergegas keluar menuju kantin. Sedang Reza dan Ilham lebih memilih untuk sholat dhuha terlebih dahulu. Berbeda dengan Glen dan Aldi yang memang ogah berbaur mereka berlima dan memilih untuk tetap didalam kelas dahulu sebelum menuju kantin.

Hakim: ‘’ Ke kantin yuk guys! (mengajak semua teman disekitarya)’’
Reza: ‘’ Duluan aja kim, aku mau sholat dhuha dulu’’.
Hakim : ‘’ oke deh”
Ilham : ‘’ Aku ikut sholat dhuha dong za’’.
Reza : ‘’ Ayo!’’.

            Ditengah dialog mereka, Glen dan Aldi hanya diam seolah tidak menghiraukannya. Padahal tempat duduk mereka depanbelakang. Kemudian mereka hakim, reza dan teman-temannya kecuali Glen dan Aldi pergi keluar kelas menuju tujuan mereka masing-masing. Setelah mereka keluar, Glen dan Aldipun akhirnya keluar kelas menuju kantin. Ditengan jalan merekapun berbincang singkat.
Glen: ‘’ Gue heran sama orang islam, apalagi sama si Reza tuh. Sholat mulu nggak capek apa? Iya        dhuha, iya dhuhur iya ini, iya itu. Untung aku bukan islam gak ribet kayak mereka, haha.
    
          Berlawanan arah ditangga menuju lantai bawah mereka berdua bertemu Zahrana yang kebetulan baru saja dari perpustakaan. Aldopun menyapanya dan hanya dibales senyum oleh Zahrana.
Aldo: ‘’ Hai Zahrana’’.
Zahrana : ‘’( menunduk ) dan hanya tersenyum’’.
Glen :’’ Apaan sih lu do, nyapa- nyapa segala ingat dia itu Islam. Jangan terlalu care deh sama dia’’.

         Sesampainya di kelas Zahranapun langsung duduk dan membaca buku yang dia pinjam dari perpustakaan. Sementara Anisa dan ketiga teman lainnya yang kebetulan depan belakang duduknya sedang asyik nggosip.

Anisa: ‘’ Eh, kalau dilihat-lihat Glen itu cakep lohya kaya Aliando hahaha’’.
Risti: ‘’Haha emang cakep sih cuman gak suka aja sama sikapnya angkuh terlalu fanatik agama’’.
Anisa:’’ Andai aja dia islam udah aku gebet kali yah hahaha.
Bersama-sama: ‘’ Astaghfirullh, Nisa...!’’
Anisa : ‘’ Hahah apaan sih kalian aku becanda kok’’.
Nanda: ‘’ Hust... diam-diam ada orangnya tuh’’.

    Bukannya diam Nisa malah menyapa Glen dengan pedenya.

Anisa: ‘’Hei, Glen’’.
    Dan Glen pun hanya tersenyum dengan senyuman angkuhya.
Anisa: ‘’ Hei, jadi anak jangan songong  deh, jawab hello kek apa kek’’.
Glen: ‘’ Heh, lu tau lu siapa? Lu orang islam, gak usah sk deket sama gue deh’’.

      Anisa pun langsung kembali ketempat karena bel masuk telah berbunyi. Singkat cerita Bu Ratihpun masuk kembali ke dalam kelas untuk melanjutkan KBM.

Bu Ratih : ‘’ Sampai mana tadi anak-anak?’’.
Bersama-sama: ‘’ Toleransi antar bangsa’’.
Bu Ratih: ‘’ Baik, sekarang siapa yang mau maju mejelaskan tentang toleransi antar bangsa.   Sebelum ibu beri tugas’’.

   Kemudian seorang siswapun berani untuk maju.

Rahma: ‘’ Asslamualaikum w.w. saya disini akan menjelaskan tentang toleransi antar bangsa. Bicara tentang toleransi, toleransi adalah sikap saling menghargai atau menghrmati. Tleransi antar bangsa artinya sikap saling menghargai antara satu bangsa dengan bangsa lainnya. Entah itu menghargai budaya, ras ataupun agama karna tanpa adanya toleransi maka perpecahanlah yang akan tercipta. Mungkin itu yang dapat saya sampaikan kurang lebihnya mohon maaf. Wasalamualaikum w.w.
Bersama –sama: ‘’ tepuk tangan’’.
Bu Ratih: ‘’ oke, bagus Rahma sekarang ibu beri tugas, dan ibu bagi menjadi lima kelmpok ibu tentukan saja yah. Kelmpok pertama Glen, Anisa, Zahrana, Dika, Bela’’.
 
          Anisapun terlihat kaget setelah terdengar kalau dia satu tim dengan Glen sementara Bu Ratih masih melanjutkan membacakan pembagian kelmpknya.
Anisa:’’ Apa? Masa aku satu kelompok sama Glen sih Rin (seolah protes kepada teman sebangkunya sendiri).
Rina:’’ Jodoh kali, haha’’.
Anisa :’’ ih,amit- amit
   
           Bu Ratihpun selesai membacakan pembagian kelompoknya.

Bu Ratih: ‘’ oke, sudah kebagian kelompok semua kan?’’.
Bersama-sama: ‘’ sudah, bu’’.
Bu Ratih: ‘’ jadi, tugas kalian membuat presentasi materi toleransi antarbagsa mulai dari pengertian, contoh, sampai penerapannya yah? Hari besok, mulai maju presentasi . sekian pembelajaran hari ini, selamat siang. Wassalamualaikum w.w
Bersama-sama: ‘’wasslamualikum w.w.’’.

      Setelah Bu Ratih keluar, akhirnya satu persatu anakpun meninggalkan kelas. Siang mejadi sore,
sore menjadi malam dan akhirnya pagi pun datang. Itu artinya murid-murid siap berangkat sekolah dan di tengah jalan menuju sekolah Glen dengan sengaja hampir menabrak Bagas sesampainya di sekolah Bagaspun menceritakan apa yang telah dialaminya.

Dewi: ‘’ Hei, gas kenapa kamu jalannya degklang kek gitu (heran)’’.
Ilham : ‘’ iya, kenapa tuh kaki ( sambungnya )’’.
Ayu: ‘’ ini tadi aku disrempet sama si Glen waktu mau berangkat’’.

  Tiba-tiba Glen pun masuk ke dalam kelas dengan perasaan biasa saja seolah tidak apa-apa.

Dewi: ‘’  Hei, kamu gak liat apa yang barusan kamu lakukan. Kamu hampir aja nabrak temen aku Bagas’’.
Glen :’’ Apa? Nabrak ( dengan wajah angkuhnya)  nggak salah deger gue.
Dewi: ‘’songong  amat sih jadi anak’’.

  Kemudian Rezapun medekat seolah menjadi mediator.

Reza:’’ udah-udah pagi-pagi udah ribut aja. Hei Glen kita semua tau kamu sangat tidak senang islam karena mungkin kamu punya pengalaman tidak eak dengan isalam. Tapi, tolong jangan benci agama kami, jika kamu ingin membenci bencilah kami. Cukup kami, bukan agama kami. Hargai agama kami, karena kamipun menghargai agama kamu. Semoga Allah memberimu hidayah sehingga kamu bisa paham bahwa islam itu indah.
Glen:’’ Masuk islam? Gak mungkin lah. Hahah’’.

    Semua yang mendengar ucapannya beristighfar seolah-olah heran dengan ucapannya. Bel berbunyi, Bu Ratihpun masuk ke dalam kelas dan menanyakan tugas hari lalu.

Bu Ratih: ‘’ Assalamualaikum w.w, pagi anak-anak bagaimana tugas kemarin, sudah selesei?’’
Bersama-sama: ‘’ Sudah, bu’’.
Bu Ratih: ‘’ oke, kelmpok pertama  maju’’.
 
         Kelmpok pertamapun  maju dan dilanjutkan sampai kelompk terakhir. Karena waktu itu guru-guru akan ada rapat, akhirnya murid-murid dipulangkan lebih awal.

Bu Ratih: ‘’ Baik, beri applause untuk kita semua. Karena hari ini guru-guru akan ada rapat. Jadi, kalian dipulangkan lebih awal. Langsung pulang ke rumah, jangan mapir-mampir. Baik, disiapkan doa bersama.

   Setelah, selesei doa murud-muridpun keluar dari kelas dan segera pulang. Tak terasa kamis bertemu kamis kembali. Sudah seminggu Glen tidak kelihatan. Terdengar kabar kalau Glen sedang dirawat di rumah sakit, dan kondisinya semakin parah. Akhirnya, teman sekelaspun berniat untuk menenguk Glen.

Reza:’’ Aldo, udah seminggu Glen nggak masuk. Denger-denger dia dirawat di rumah sakit yah?’’.
Aldo:’’ Iya, za. Sekarang dia sedang dirawat karena kecelakaan dan terakhir aku denger dari keluarganya katanya kondisinya semakin memburuk’’.
Reza:’’ Innalillahi, kalau begitu nanti pulang sekolah kita langsung ke Rumah Sakit aja’’.
Aldo:’’ Iya, za’’.

   Tiba-tiba Anisa datang dan menyambung dialog mereka.

Anisa:’’Ngapain sih za, kita njenguk dia segala? Dia itu gak pernah menghargai agama kita’’.
Rahma : ‘’ Hust, jangan begitu Nis!, justru ini saatnya nunjukin ke dia kalau kita ‘’Umat Islam’’ tidak seburuk yang dia bayangkan’’.
Reza: ‘’ iya betul tuh. Oke berarti nanti pulang sekolah kita langsung ke Rumah Sakit aja. Beli bingkisan pake uang kas aja’’.

   Setelah bel pelajaran berakhir, akhirnya sesuai rencana merekapun segera menuju rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit semua anak masuk satu per satu ke dalam ruangan tempat Glen dirawat. Glen tergeletak lemah tak berdaya kondisinya semakin parah. Tiba-tiba Glen meminta maaf kepada teman-temannya.

Glen:’’ Reza....Reza.’’
Hakim:’’ Reza dipanggil Glen!’’.
Reza: ‘’ Iya Glen, ada apa?’’.
Glen: ‘’ Aku minta maaf sama kamu dan kalian semua (sambil menatap semua temannya) aku udah benci dan jahat sama kalian nggak menghargai kalian.
Reza:’’ Iya Glen kami udah maafin kamu kok. Iya kan teman-teman( melihat kearah teman-temannya)’’.
Bersama-sama:’’ iya..’’.
Glen:’’ Aku baru sadar kalau islam adalah agama yang terbaik, agama yang toleran, dan agama yang diridhoi Alloh. Untuk itu, aku ingin masuk islam. Tolong bantu aku mengucapkan syahadat’’.
Bersama-sama:’’ Alhamdulillah...’’
Reza:’’ Masya Alloh, baik aku bantu Glen ikuti aku.. Ash-ha-du-alla- illaha-illalloh- wa- asyhadu-anna-muhammadar-rosululloh.

   Akhirnya Glenpun dapat bersahadat. Dan dia akhirnya menemukan cinta terakhirnya sampai akhirnya dia meninggal dalam keadaan islam. MasyaAlloh.

Hikmah cerita:
1.       Jadilah umat yang toleran.
2.       Bahwa hanya islam adalah agama yang diridhoi Alloh.